Rabu, 21 November 2012

Belajar dari Penjual Sapu

Gambar diambil dari Google.com


Beberapa minggu kepindahan saya di kota solo, membawa saya bertemu seorang penjual sapu. Bapak tua itu, saya tidak yakin bisa menebak usianya dengan pasti, membawa setumpuk dagangan sapu dan berbagai alat kebersihan dengan sepeda tua. Saat itu kami waktu maghrib sudah hampir tiba, saya dan teman saya, memandangnya sedih. Bapak tua itu berjalan sendiri, menuntun sepedanya, langkahnya agak terseok. Kami bersepakat mengejarnya, memberinya sejumlah uang Cuma-cuma tanpa bermaksud menghina.

Beberapa minggu setelah itu, saya melewati pasar Gede. Saya melihat bapak itu lagi. Dengan sepeda yang sama. Dagangannya itu-itu juga. Entah berkurang atau bertambah. Kembali saya menaruh iba. Hanya sejenak berpikir, sudahkah ia makan hari ini? Sudahkah dagangannya laku? Atau jangan-jangan sejak pertemuan pertama memang dagangannya hanya itu. Kali ini, saya tidak meberinya uang. Bukan pelit, tapi sungguh, ada hal lain yang menunggu saya. Ah, semoga Allaah mengampuni...
Kemarin, pemandangan yang sama saya lihat. Dengan sepeda yang sama dan dagangan yang rasa-rasanya sama. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Kadang terlintas untuk mengikuti kemana bapak tua penjual sapu itu pergi, dimana rumahnya, dengan siapa ia tinggal, siapa yang menemaninya ketika harus menghadapi masa tua dengan bekerja dan banyak pemikiran yang saya tidak tahu, sebenarnya harus saya pikirkan atau tidak.

Mau tidak mau, saya harus terpuaskan dengan kesimpulan bahwa bapak tua itu menuntun sepedanya untuk berjualan alat kebersihan setiap hari. Pagi sampai sore. Panas ataupun hujan deras. Laku atau tidak ia harus tidak berhenti mencoba. Karena ada roda sepeda yang harus terus berputar, sapu yang harus dijual, dan perut yang harus kenyang. Intinya hanya itu.
Bercermin padanya membuat saya hancur. Bahkan sampai sekarang saya masih begini saja. Usia yang muda tidak membuat saya mencoba terus. Kadang perasaan jenuh, jengkel, tidak sabar itu datang, ketika sekali gagal. Padahal petlu ribuan kali bangkit untuk berhasil.
Berkaca pada kehidupan penjual sapu otu membuat saya tertampar. Bahkan selama ini saya masih sangat kufur akan nikmat-Nya. Bahkan selama ini saya masih menuntut macam-macam soal hidup saya. Bahkan saya masih berani melukis pelangi buat diri saya sendiri, menyingkirkan keingintahuan saya tentang badai di luar kehidupan saya.

Bahkan saya masih berani bercita-cita beli mobil dengan keringat saya sendiri, sementara bapak itu hanya memutar roda sepeda tua. Bahkan saya masih bermimpi membeli gadget ini-itu, padahal bapak tua itu, entah berapa buah sapu dan alat kebersihan lain yang harus ia jual demi membeli sebungkus nasi.
Bahkan saya masih bisa berkata, betapa malangnya saya bila dibandingkan si A, si B, si C dan lainnya. Padahal saya belum pernah tahu rasanya berjalan kaki menuntun sepeda tua dengan dagangan setumpuk setiap hari. Padahal saya masih mengeluh kalau magh saya kambuh. Padahal saya masih sering menggumam kalau terasqa demam. Sementara ada kehidupan lain di luar sana yang tidak bisa kita bayangkan rasanya jika kita berada di tempat mereka.

Surah Ar Rahman (disebut 31 kali)
 فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”

Bahkan kita belum bisa berjanji pada diri sendiri. Kelak kalau sudah punya mobil pribadi, gadget bagus, dan rumah yang megah, masihkah kita ingat bersedekah?

Mungkin kita akan lupa rasanya kehujanan di jalan.. Lupa rasanya jengkel diklakson mobil saat naik motor, karena lebih sering meng-klakson motor..

Mungkin nanti kita akan lupa melihat ke bawah, melihat sekeliling kita, melihat orang-orang yang lebih susah...

Mungkin nanti kita akan rindu rasanya berteduh di pinggir jalan saat kehujanan, rindu bertemu bapak tua penjual sapu......

Mungkin nanti kita akan butuh bersyukur, karena lupa cara bersyukur...
Naudzubillah..!

Sabtu, 17 November 2012

Badai Akan Berlalu

Bismillah....

Baru nulis lagi setelah tahun baru kemarin (baca : Tahun Baru Islam).

Apa yang baru?
Umm, kehidupannya, ritme hidupnya, semangatnya sebenarnya harus lebih diperbaiki. tapi sedih banget ternyata belum.
Maafkan ya Rabb, sampai saat ini masih membuang waktu dengan percuma,
Maaf buat Ibunda, yang sampai saat ini ternyata masih belum bisa melakukan apupun yang bisa membuatmu bangga..

Mmmh..
Mimpi untuk sekolah sampai ke jenjang doktoral itu belum habis,
dan mimpi untuk jadi penulis itu masih pada tempatnya,
mimpi untuk jadi ibu yang baik, wanita sholehah dan bidadari surga masih berada di ujung jalan yang sekarang masih saya cari-cari.
hanya berharap istiqamah..

Pada saatnya, berharap melakukan sesuatu buat saudara di #gaza, berjihad melawan musul Allaah rasanya tidak pernah berhenti untuk diperjuangkan.
Sementara ini hanya bisa membant lewat doa, belum bisa berjihad :')

Berbahagialah kalian yang kembali kepada-Nya dalam keadaan sebaik-baiknya, Saudaraku..
Allaah ridho kepada kalian.

Rindu saya pada kalian, dan menunjungi rumah Allaah, tidak akan pernah surut.
Sementara biarkan doa kepada Yang Maha Hidup menghidupkan kalian dalam semangat jihad dan ukhuwah.

Allaah Maha Besar, semoga kalian bersabar....

Badai ini akan segera berlalu, pada saat itu matahari akan menghangatkan kalian, mengahangatkan kita.
Dalam iman, dalam taqwa..

Nama

aku bertemu banyak nama yang sama sepertimu tiada kata berulang yang mampu membuat analaogi baru seperti saat terdengar nama itu kamu tak ...