Gambar diambil dari Google.com |
Beberapa
minggu kepindahan saya di kota solo, membawa saya bertemu seorang penjual sapu.
Bapak tua itu, saya tidak yakin bisa menebak usianya dengan pasti, membawa
setumpuk dagangan sapu dan berbagai alat kebersihan dengan sepeda tua. Saat itu
kami waktu maghrib sudah hampir tiba, saya dan teman saya, memandangnya sedih.
Bapak tua itu berjalan sendiri, menuntun sepedanya, langkahnya agak terseok. Kami
bersepakat mengejarnya, memberinya sejumlah uang Cuma-cuma tanpa bermaksud
menghina.
Beberapa minggu setelah itu, saya
melewati pasar Gede. Saya melihat bapak itu lagi. Dengan sepeda yang sama. Dagangannya
itu-itu juga. Entah berkurang atau bertambah. Kembali saya menaruh iba. Hanya
sejenak berpikir, sudahkah ia makan hari ini? Sudahkah dagangannya laku? Atau
jangan-jangan sejak pertemuan pertama memang dagangannya hanya itu. Kali ini,
saya tidak meberinya uang. Bukan pelit, tapi sungguh, ada hal lain yang
menunggu saya. Ah, semoga Allaah mengampuni...
Kemarin, pemandangan yang sama
saya lihat. Dengan sepeda yang sama dan dagangan yang rasa-rasanya sama. Saya
tidak tahu lagi harus bagaimana. Kadang terlintas untuk mengikuti kemana bapak
tua penjual sapu itu pergi, dimana rumahnya, dengan siapa ia tinggal, siapa
yang menemaninya ketika harus menghadapi masa tua dengan bekerja dan banyak
pemikiran yang saya tidak tahu, sebenarnya harus saya pikirkan atau tidak.
Mau tidak mau, saya harus
terpuaskan dengan kesimpulan bahwa bapak tua itu menuntun sepedanya untuk
berjualan alat kebersihan setiap hari. Pagi sampai sore. Panas ataupun hujan
deras. Laku atau tidak ia harus tidak berhenti mencoba. Karena ada roda sepeda
yang harus terus berputar, sapu yang harus dijual, dan perut yang harus
kenyang. Intinya hanya itu.
Bercermin padanya membuat saya
hancur. Bahkan sampai sekarang saya masih begini saja. Usia yang muda tidak
membuat saya mencoba terus. Kadang perasaan jenuh, jengkel, tidak sabar itu
datang, ketika sekali gagal. Padahal petlu ribuan kali bangkit untuk berhasil.
Berkaca pada kehidupan penjual
sapu otu membuat saya tertampar. Bahkan selama ini saya masih sangat kufur akan
nikmat-Nya. Bahkan selama ini saya masih menuntut macam-macam soal hidup saya. Bahkan
saya masih berani melukis pelangi buat diri saya sendiri, menyingkirkan
keingintahuan saya tentang badai di luar kehidupan saya.
Bahkan saya masih berani
bercita-cita beli mobil dengan keringat saya sendiri, sementara bapak itu hanya
memutar roda sepeda tua. Bahkan saya masih bermimpi membeli gadget ini-itu,
padahal bapak tua itu, entah berapa buah sapu dan alat kebersihan lain yang
harus ia jual demi membeli sebungkus nasi.
Bahkan saya masih bisa berkata,
betapa malangnya saya bila dibandingkan si A, si B, si C dan lainnya. Padahal
saya belum pernah tahu rasanya berjalan kaki menuntun sepeda tua dengan
dagangan setumpuk setiap hari. Padahal saya masih mengeluh kalau magh saya
kambuh. Padahal saya masih sering menggumam kalau terasqa demam. Sementara ada
kehidupan lain di luar sana yang tidak bisa kita bayangkan rasanya jika kita
berada di tempat mereka.
Surah Ar Rahman (disebut 31 kali)
فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kau dustakan?”
Bahkan kita belum bisa berjanji
pada diri sendiri. Kelak kalau sudah punya mobil pribadi, gadget bagus, dan
rumah yang megah, masihkah kita ingat bersedekah?
Mungkin kita akan lupa rasanya
kehujanan di jalan.. Lupa rasanya jengkel diklakson mobil saat naik motor,
karena lebih sering meng-klakson motor..
Mungkin nanti kita akan lupa
melihat ke bawah, melihat sekeliling kita, melihat orang-orang yang lebih
susah...
Mungkin nanti kita akan rindu
rasanya berteduh di pinggir jalan saat kehujanan, rindu bertemu bapak tua
penjual sapu......
Mungkin nanti kita akan butuh
bersyukur, karena lupa cara bersyukur...
Naudzubillah..!