|
Gambar diambil dari Google.com |
Tiada saat – saat yang
terindah selain saat menemukan jalan menuju ridha-Nya bersama sahabat seperjuangan.
Tiada hari yang terindah selain hari dimana hidayah itu diberikan tepat
dimana hati kita mulai dilembutkan. Saat yang indah menerima ayatullaah yang
datang bukan dari manusia. Melainkan surat cinta dari-Nya yang tanpa sengaja
terbaca.
Blitar, tahun 2007
Namun
adakalanya hati ini begitu keras akan firman-Nya. Kisah ini dimulai beberapa
tahun lalu, saat saya masih berseragam abu-abu. Sebuah buku kecil berjudul
“Suri Tauladan Muslimah Sejati” . Tadinya terbungkus rapi di atas meja. Namun saya
melihat ibu sudah membukanya. Buku itu kado dari Mbak Ani, seorang yang tadinya
aneh yang diijinkan ibu tinggal di rumah kami. Melihat Mbak Ani, untuk sesaat,
saya sangat heran. Beliau seorang wanita berusaia akhir dua puluh tahun dan
belum menikah. Tapi bukan belum menikah nya itu yang aneh, pakaiannya. Ketika
di lingkungan kami semua anak mudanya berlomba-lomba tampil seksi, beliau
menggunakan setelan berwarna gelap berupa gamis kebesaran dan kerudung
sepanjang perut. Beliau selalu menggunakan kaos kaki. Jumlah pakaian di lemari
beliau hanya 4 pasang, ditambah sebuah rok serta sebuah kaos lengan panjang.
Waktu
itu tidak ada yang berkesan dari mbak Ani. Selain beberapa share setiap malam
setiap habis shalat isya’. Kami tidur sekamar dengan ranjang tingkat. Saya
memilih di ranjang yang atas. Setiap malam kami bercerita. Mba Ani sering
berbagi tentang cerita seram atau cerita lucu. Tapi ternyata kesimpulan tentang
kajian Minggu itu lebih membekas dalam ingatan.
“Muslimah
itu harus memakai jilbab, Dek. Jilbab yang benar adalah pakaian yang lebar.
Tidak membentuk tubuh dan menutupi dada. Sama satu lagi, No punuk onta! ”
Saat
itu saya mendengar. Tapi pura-pura tidur.
Jakarta, 2012
Saya ingat hari itu hari Minggu.
Janji dengan seorang teman baru bernama Yuna, sebut saja begitu. Kami bertemu
dalam sebuah launching buku. Saya mempersiapkan celana lebar, dengan kaos
lengan panjang berwarna hitam. Baju favorit saat tidak tahu pakaian mana yang
harus dipadu padankan adalah warna polos. Dan Vest bunga-bunga itu menjadi
tambahan cantik. Tidak lupa kerudung chiffon segiempat berwarna peach. Not bad.
Saya sampai duluan di pusat
perbelanjaan di kawasan Blok M, tempat kami biasa bertemu. Rasanya hanya mal
itu yang menarik. Bukan dari tokonya, karena jujur saya sedang tidak terlalu
berminat berbelanja. Tapi yang membuat kami betah adalah masjid yang terletak
di lantai paling atas. Masjid yang teduh.
Saya mengambil tempat duduk di depan
salah satu counter makanan. Memesan minuman dan kue sekedar untuk pengganjal
perut. Mata saya berkunang-kunang. Efek makan tidak teratur itu sepertinya
mulai saya rasakan. Untung saya dapat duduk meskipun foodcourt sangat ramai,
pikir saya.
Mata saya tak henti memandang
sekeliling foodcourt. Ah, foodcourt di hari Minggu sepertinya lebih mirip
seperti red carpet. Bukan, lebih dari
itu. Foodcourt ini sudah seperti rumah mode perancang kenamaan. Pameran dan
perkumpulan sebuah dominasi anak gaul jaman sekarang bernama hijabers. Dan senang sekali, saya
termasuk di dalamnya.
Ketika lemon tea sudah habis hampi setengahnya, Yuna datang.
Dengan jeans dan blazer tidak lupa hijab yang dimodikfikasi sedemikian rupa. Dia
juga penggemar perancang mode dengan warna pelangi itu rupanya. Warna yang
agresif, menarik, berani, mendongkrak tatanan! Gahar!
“Udah lama, Chid?” kata Yuna setelah kami bersalaman.
“Ngga juga. Eh lumayan sih..”
“Ooh.. Jadi gimana, Chid, soal obrolan yang kemarin?”
“Yaah, lu.. Baru juga sampe. Pesen makan dulu yuk. Laper
gue..”
“Hahahaa..dasar lu! Yuk, ah.. Gue juga laper..”
Kami pun melangkah mengambil menu.
Memang pertemuan dengan Yuna hari ini, tergolong bukan
pertemuan biasa. Pertemuan ini adalah pertemuan yang sudah kami rencanakan
beberapa minggu lalu pasca perkenalan dalam launcing buku. Rencananya kami
ingin join membuka usaha hijab. Melengkapi kebutuhan wanita dengan trend masa
kini, trend hijabers.
“Tapi gue gak bisa total, Chid. Lu tau kan gue abis resign
gara-gara kerjaan gue gak bolehin gue pake kerudung..”
DEG! Saya baru ingat. Dalam kondisi sekarang rasanya mustahil
untuk bekerja sama dengannya. Konsentrasinya pasti juga untuk membiayai hidup
keluarganya. Niat untuk mengajaknya bekerja sama pun mengkerut.
“Oh iya gue lupa. Yaudahlah, dzuhur dulu aja yuk..Siapa tau
Allaah kasi petunjuk abis ini.”
“Iya, Chid. Yuk..”
Masjid Blok M itu bernama Masjid Nurul Iman. Saya suka
suasana di Masjid yang letaknya di atap pusat perbelanjaan itu. Suasananya
begitu tenang, nyaman, dan pasti membuat kita selalu betah bersujud. Didukung
oleh fasilitas tempat wudhu yang bersih menyamankan para pengunjungnya.
Di masjid itu saya mengadu tentang permasalahan yang kami
bicarakan tadi dalam setiap sujud. Rasanya lega setelah habis mengadu
kepada-Nya. Saya berpasrah. Hanya menyerahkan keputusan akhir. Jika memang
diijinkan pasti apapun hambatannya tak akan terlihat besar. Saya yakin.
Sehabis bertasbih, saya memutuskan untuk beranjak untuk
sholat ba’diyah dzuhur. Namun tertahan oleh percakapan dua siswi SMA di depan
saya. Saya melirik di sebelah kanan. Seorang siswi berseragam abu-abu itu
menarik tali rambut temannya.
“Eh kalo sholat itu jangan pake iket rambut.”
“Emang kenapa?”
“Punuk onta, tau..”
DEG!
“Chid, ngapa lu? Ngelamun.. Udah belum?” Yuna mengagetkanku.
“Hah, belum. Bentar yak, sholat sunah dulu.”
Saat sholat, rasanya ada yang mengganjal. Punuk onta. Rasanya
istilah itu sudah tidak asing. Aku mengingatnya, terus mengingatnya. Sampai
hendak turun tangga, saya baru ingat. Istilah punuk onta itu ada di buku kado
dari Mbak Ani untuk ibu. Sebuah buku kecil berjudul Suri Tauladan Muslimah Sejati. Bukan hanya itu, Mbak Ani juga
pernah mengatakan kalau salah satu ciri jilbab yang sesuai syar’i adalah NO
PUNUK ONTA. Padahal baru saja saya mau beli dalaman
ninja cepol besar, salah satu syarat sah menjadi hijabers.
Astaghfirullaah....
“Eh, Chid.. Lu bisa ngga someday pake kerudung kaya gitu?”
Tanya Yuna sambil menunjuk seorang akhwat berkerudung coklat muda menaiki
tangga.
“Yang mana?”
“Itu yang kerudungnya lebar nutupin dada..”
“Oh itu. Insyaa’ Allaah pasti bisa.”
Doa itu didengar Allaah rupanya.
Surakarta,
September 2012
Tanpa terasa, sebulan sudah saya
memakai kerudung lebar. Kepindahan saya di Kota Solo dalam rangka melanjutkan
pendidikan dan berhijrah dalam dua arti. Hijrah dalam jasmani dan rohani.
Hijrah lahir dan batin.
Tubuh saya berhijrah untuk menjauhi
pengaruh yang harus dan akan saya tinggalkan di Jakarta. Hal – hal yang mungkin
akan membuat saya jauh lagi pada Rabb saya. Sedangkan hati saya berhijrah untuk
mencari ketenangan yang lebih baik dalam hal ibadah. Bukan berarti di Jakarta
tidak bisa beribadah. Namun, godaan yang begitu banyak seakan menimang saya
setiap hari untuk melupakan Dia dan lingkungan di sekitarnya pun mendukung.
Saya tidak dan memang belum menemukan sahabat sejalan saat itu. Dan karena
itulah saya memutuskan untuk berhijrah.
Sore ini ada acara pertemuan
mahasiswa baru di kampus. Kerudung segiempat berwarna hijau muda dan gamis
berwarna hijau tua menjadi pilihan saya. Alhamdulillaah hati ini semakin
tenang. Tidak ingin tampil cantik dengan make up dan parfum. Saya tinggalkan
dalaman-ninja-cepol yang sudah terlanjur saya beli dulu. Saya tinggalkan pula
beberapa pasang sepatu ber-hak tinggi, wedges 12 cm, dan sepatu boots itu tetap
pada tempatnya. Sedikit berdebu, karena tidak pernah dipakai. Dan yang paling
terlihat berbeda adalah, setelan celana harem, vest, pasmina pelangi berwarna
warni itu sudah tidak berada di lemari pakaian saya.
Kerudung lebar berwarna hijau muda
itu adalah kerudung lebar pertama saya. Masih teringang jelas ketika saya
meminta ijin pada ibu untuk memakai kerudung lebar. Sungguh, saya yakin pasti
awalnya akan sangat asing. Ibu tidak melarang, beliau tersenyum. Dan saya yakin
senyuman itu adalah tanda ‘Ya’. Kemudian esoknya, saya mengenakan kerudung
lebar hijau muda dan gamis panjang hijau tua.
“Kamu terlihat dewasa dan anggun
sekarang ya, Mbak,” ucap Ibu.
Semenjak itu saya mengumpulkan satu demi satu baju muslimah
syar’i. Dan semakin merapikan pakaian di lemari tanpa menjamah baju masa lalu
yang berwarna-warni.
Pada akhirnya hidup dan mati saya hanyalah milik-Nya. Dan
mempersembahkan yang terbaik dalam hidup saya untuk-Nya adalah tujuan utama
saya saat ini. Ini adalah perjalanan panjang tanpa henti mencari ridho Illaahi.
Saya mungkin tidak akan berhenti untuk memberitahukan kecintaan saya pada
Allaah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Saya merasa doa saya saat sholat di Masjid itu terjawab.
Allaah meberikan saya waktu yang tepat untuk berhijrah. Tempat yang tepat untuk
memulai. Saudara yang tepat untuk saling mendukung. Rencana kita mungkin sudah
matang, tapi memang rencana-Nya itulah yang terindah.
Seperti sudah digariskan. Kenal Mbak Ani, baca buku Suri
Tauladan, kenal Yuna, rencana-rencana bisnis aksesori, peristiwa di masjid Blok
M Square sampai tinggal di kota ini sekarang dalah bukti bahwa Dia menuliskan
surat cinta yang saya baca dengan tanpa sengaja.
Beruntung, diperjalanan ini saya dipertemuakan dengan
keluarga yang berjalan bersama serta saling menguatkan. Keluarga yang mencintai
Allaah serta sunnah Rasulullaah SAW. Keluarga besar bidadari yang akan bertemu
lagi di surga. Insyaa’ Allaah.
“Wahai anak Adam!
Sesungguhnya Kami sudah menurunkan kepada kamu (bahan untuk) pakaian menutup
aurat kamu, dan pakaian perhiasan; dan pakaian berupa takwa itulah yang
sebaik-baiknya.” (Surah al-A’raaf, ayat 26)