Jumat, 01 Februari 2013

KERUDUNG LEBAR HIJAU MUDA



Gambar diambil dari Google.com

 Tiada saat – saat yang terindah selain saat menemukan jalan menuju ridha-Nya bersama sahabat  seperjuangan.  Tiada hari yang terindah selain hari dimana hidayah itu diberikan tepat dimana hati kita mulai dilembutkan. Saat yang indah menerima ayatullaah yang datang bukan dari manusia. Melainkan surat cinta dari-Nya yang tanpa sengaja terbaca.

Blitar, tahun 2007
            Namun adakalanya hati ini begitu keras akan firman-Nya. Kisah ini dimulai beberapa tahun lalu, saat saya masih berseragam abu-abu. Sebuah buku kecil berjudul “Suri Tauladan Muslimah Sejati” . Tadinya terbungkus rapi di atas meja. Namun saya melihat ibu sudah membukanya. Buku itu kado dari Mbak Ani, seorang yang tadinya aneh yang diijinkan ibu tinggal di rumah kami. Melihat Mbak Ani, untuk sesaat, saya sangat heran. Beliau seorang wanita berusaia akhir dua puluh tahun dan belum menikah. Tapi bukan belum menikah nya itu yang aneh, pakaiannya. Ketika di lingkungan kami semua anak mudanya berlomba-lomba tampil seksi, beliau menggunakan setelan berwarna gelap berupa gamis kebesaran dan kerudung sepanjang perut. Beliau selalu menggunakan kaos kaki. Jumlah pakaian di lemari beliau hanya 4 pasang, ditambah sebuah rok serta sebuah kaos lengan panjang.
            Waktu itu tidak ada yang berkesan dari mbak Ani. Selain beberapa share setiap malam setiap habis shalat isya’. Kami tidur sekamar dengan ranjang tingkat. Saya memilih di ranjang yang atas. Setiap malam kami bercerita. Mba Ani sering berbagi tentang cerita seram atau cerita lucu. Tapi ternyata kesimpulan tentang kajian Minggu itu lebih membekas dalam ingatan.
            “Muslimah itu harus memakai jilbab, Dek. Jilbab yang benar adalah pakaian yang lebar. Tidak membentuk tubuh dan menutupi dada. Sama satu lagi, No punuk onta! ”
            Saat itu saya mendengar. Tapi pura-pura tidur.

Jakarta, 2012
            Saya ingat hari itu hari Minggu. Janji dengan seorang teman baru bernama Yuna, sebut saja begitu. Kami bertemu dalam sebuah launching buku. Saya mempersiapkan celana lebar, dengan kaos lengan panjang berwarna hitam. Baju favorit saat tidak tahu pakaian mana yang harus dipadu padankan adalah warna polos. Dan Vest bunga-bunga itu menjadi tambahan cantik. Tidak lupa kerudung chiffon segiempat berwarna peach. Not bad.
            Saya sampai duluan di pusat perbelanjaan di kawasan Blok M, tempat kami biasa bertemu. Rasanya hanya mal itu yang menarik. Bukan dari tokonya, karena jujur saya sedang tidak terlalu berminat berbelanja. Tapi yang membuat kami betah adalah masjid yang terletak di lantai paling atas. Masjid yang teduh.
            Saya mengambil tempat duduk di depan salah satu counter makanan. Memesan minuman dan kue sekedar untuk pengganjal perut. Mata saya berkunang-kunang. Efek makan tidak teratur itu sepertinya mulai saya rasakan. Untung saya dapat duduk meskipun foodcourt sangat ramai, pikir saya.
            Mata saya tak henti memandang sekeliling foodcourt. Ah, foodcourt di hari Minggu sepertinya lebih mirip seperti red carpet. Bukan, lebih dari itu. Foodcourt ini sudah seperti rumah mode perancang kenamaan. Pameran dan perkumpulan sebuah dominasi anak gaul jaman sekarang bernama hijabers. Dan senang sekali, saya termasuk di dalamnya.
Ketika lemon tea sudah habis hampi setengahnya, Yuna datang. Dengan jeans dan blazer tidak lupa hijab yang dimodikfikasi sedemikian rupa. Dia juga penggemar perancang mode dengan warna pelangi itu rupanya. Warna yang agresif, menarik, berani, mendongkrak tatanan! Gahar!
“Udah lama, Chid?” kata Yuna setelah kami bersalaman.
“Ngga juga. Eh lumayan sih..”
“Ooh.. Jadi gimana, Chid, soal obrolan yang kemarin?”
“Yaah, lu.. Baru juga sampe. Pesen makan dulu yuk. Laper gue..”
“Hahahaa..dasar lu! Yuk, ah.. Gue juga laper..”
Kami pun melangkah mengambil menu.
Memang pertemuan dengan Yuna hari ini, tergolong bukan pertemuan biasa. Pertemuan ini adalah pertemuan yang sudah kami rencanakan beberapa minggu lalu pasca perkenalan dalam launcing buku. Rencananya kami ingin join membuka usaha hijab. Melengkapi kebutuhan wanita dengan trend masa kini, trend hijabers.  
“Tapi gue gak bisa total, Chid. Lu tau kan gue abis resign gara-gara kerjaan gue gak bolehin gue pake kerudung..”
DEG! Saya baru ingat. Dalam kondisi sekarang rasanya mustahil untuk bekerja sama dengannya. Konsentrasinya pasti juga untuk membiayai hidup keluarganya. Niat untuk mengajaknya bekerja sama pun mengkerut.
“Oh iya gue lupa. Yaudahlah, dzuhur dulu aja yuk..Siapa tau Allaah kasi petunjuk abis ini.”
“Iya, Chid. Yuk..”

Masjid Blok M itu bernama Masjid Nurul Iman. Saya suka suasana di Masjid yang letaknya di atap pusat perbelanjaan itu. Suasananya begitu tenang, nyaman, dan pasti membuat kita selalu betah bersujud. Didukung oleh fasilitas tempat wudhu yang bersih menyamankan para pengunjungnya.
Di masjid itu saya mengadu tentang permasalahan yang kami bicarakan tadi dalam setiap sujud. Rasanya lega setelah habis mengadu kepada-Nya. Saya berpasrah. Hanya menyerahkan keputusan akhir. Jika memang diijinkan pasti apapun hambatannya tak akan terlihat besar. Saya yakin.
Sehabis bertasbih, saya memutuskan untuk beranjak untuk sholat ba’diyah dzuhur. Namun tertahan oleh percakapan dua siswi SMA di depan saya. Saya melirik di sebelah kanan. Seorang siswi berseragam abu-abu itu menarik tali rambut temannya.
“Eh kalo sholat itu jangan pake iket rambut.”
“Emang kenapa?”
“Punuk onta, tau..”
DEG!                             
“Chid, ngapa lu? Ngelamun.. Udah belum?” Yuna mengagetkanku.
“Hah, belum. Bentar yak, sholat sunah dulu.”

Saat sholat, rasanya ada yang mengganjal. Punuk onta. Rasanya istilah itu sudah tidak asing. Aku mengingatnya, terus mengingatnya. Sampai hendak turun tangga, saya baru ingat. Istilah punuk onta itu ada di buku kado dari Mbak Ani untuk ibu. Sebuah buku kecil berjudul Suri Tauladan Muslimah Sejati. Bukan hanya itu, Mbak Ani juga pernah mengatakan kalau salah satu ciri jilbab yang sesuai syar’i adalah NO PUNUK ONTA. Padahal baru saja saya mau beli dalaman ninja cepol besar, salah satu syarat sah menjadi hijabers. Astaghfirullaah....
“Eh, Chid.. Lu bisa ngga someday pake kerudung kaya gitu?” Tanya Yuna sambil menunjuk seorang akhwat berkerudung coklat muda menaiki tangga.
“Yang mana?”
“Itu yang kerudungnya lebar nutupin dada..”
“Oh itu. Insyaa’ Allaah pasti bisa.”
Doa itu didengar Allaah rupanya. 
                                                                  
            Surakarta, September 2012
                        Tanpa terasa, sebulan sudah saya memakai kerudung lebar. Kepindahan saya di Kota Solo dalam rangka melanjutkan pendidikan dan berhijrah dalam dua arti. Hijrah dalam jasmani dan rohani. Hijrah lahir dan batin.
            Tubuh saya berhijrah untuk menjauhi pengaruh yang harus dan akan saya tinggalkan di Jakarta. Hal – hal yang mungkin akan membuat saya jauh lagi pada Rabb saya. Sedangkan hati saya berhijrah untuk mencari ketenangan yang lebih baik dalam hal ibadah. Bukan berarti di Jakarta tidak bisa beribadah. Namun, godaan yang begitu banyak seakan menimang saya setiap hari untuk melupakan Dia dan lingkungan di sekitarnya pun mendukung. Saya tidak dan memang belum menemukan sahabat sejalan saat itu. Dan karena itulah saya memutuskan untuk berhijrah.
            Sore ini ada acara pertemuan mahasiswa baru di kampus. Kerudung segiempat berwarna hijau muda dan gamis berwarna hijau tua menjadi pilihan saya. Alhamdulillaah hati ini semakin tenang. Tidak ingin tampil cantik dengan make up dan parfum. Saya tinggalkan dalaman-ninja-cepol yang sudah terlanjur saya beli dulu. Saya tinggalkan pula beberapa pasang sepatu ber-hak tinggi, wedges 12 cm, dan sepatu boots itu tetap pada tempatnya. Sedikit berdebu, karena tidak pernah dipakai. Dan yang paling terlihat berbeda adalah, setelan celana harem, vest, pasmina pelangi berwarna warni itu sudah tidak berada di lemari pakaian saya.
            Kerudung lebar berwarna hijau muda itu adalah kerudung lebar pertama saya. Masih teringang jelas ketika saya meminta ijin pada ibu untuk memakai kerudung lebar. Sungguh, saya yakin pasti awalnya akan sangat asing. Ibu tidak melarang, beliau tersenyum. Dan saya yakin senyuman itu adalah tanda ‘Ya’. Kemudian esoknya, saya mengenakan kerudung lebar hijau muda dan gamis panjang hijau tua.
            “Kamu terlihat dewasa dan anggun sekarang ya, Mbak,”  ucap Ibu.
Semenjak itu saya mengumpulkan satu demi satu baju muslimah syar’i. Dan semakin merapikan pakaian di lemari tanpa menjamah baju masa lalu yang berwarna-warni.
Pada akhirnya hidup dan mati saya hanyalah milik-Nya. Dan mempersembahkan yang terbaik dalam hidup saya untuk-Nya adalah tujuan utama saya saat ini. Ini adalah perjalanan panjang tanpa henti mencari ridho Illaahi. Saya mungkin tidak akan berhenti untuk memberitahukan kecintaan saya pada Allaah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Saya merasa doa saya saat sholat di Masjid itu terjawab. Allaah meberikan saya waktu yang tepat untuk berhijrah. Tempat yang tepat untuk memulai. Saudara yang tepat untuk saling mendukung. Rencana kita mungkin sudah matang, tapi memang rencana-Nya itulah yang terindah.
Seperti sudah digariskan. Kenal Mbak Ani, baca buku Suri Tauladan, kenal Yuna, rencana-rencana bisnis aksesori, peristiwa di masjid Blok M Square sampai tinggal di kota ini sekarang dalah bukti bahwa Dia menuliskan surat cinta yang saya baca dengan tanpa sengaja.
Beruntung, diperjalanan ini saya dipertemuakan dengan keluarga yang berjalan bersama serta saling menguatkan. Keluarga yang mencintai Allaah serta sunnah Rasulullaah SAW. Keluarga besar bidadari yang akan bertemu lagi di surga. Insyaa’ Allaah.
“Wahai anak Adam! Sesungguhnya Kami sudah menurunkan kepada kamu (bahan untuk) pakaian menutup aurat kamu, dan pakaian perhiasan; dan pakaian berupa takwa itulah yang sebaik-baiknya.” (Surah al-A’raaf, ayat 26)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama

aku bertemu banyak nama yang sama sepertimu tiada kata berulang yang mampu membuat analaogi baru seperti saat terdengar nama itu kamu tak ...