Rabu, 06 Maret 2013

KERUPUK atau STEROFOAM?

diunduh dari ini-caranya.blogspot.com

Bismillaah..

Beberapa minggu kemarin, beredar isu mengenai kerupuk putih (atau biasa disebut kerupuk uyel) sterofoam. #gleg! saya termasuk orang yang kaget. Kenapa? karena saya ini super-duper-kerupuk-lover..

:)))


Actually, kerupuk uyel ini terbuat dari tepung tapioka.

Tapi mungkin karena faktor tertentu, beberapa oknum menambahkannya dengan sterofoam.
*sebenarnya saya ngga tau juga bagaimana cara menambahkan sterofoam ke dalam kerupuk*
:)))

Well, sebenarnya bukan bermaksud kurang menghargai kesehatan atau gimana. Tapi pernah nyadar ngga, beberapa tahun belakangan ini isu-isu mengenai makanan santer sekali terdengar di beberapa berita yang berlabel I-N-V-E-S-T-I-G-A-S-I. Entah itu jajanan formalin, gorengan plastik, minuman dengan zat pewarna atau kasus kerupuk sterofoam ini.

Sebenarnya siapa yang salah?
Saya rasa beberapa oknum memang patut dipersalahkan. Karena demi meraup untung sebanyak - banyaknya, mereka semacam mengesampingkan masalah kesehatan. Bahkan masalah perkembangan anak. Menurut beberapa penelitian, banyaknya zat aditif tersebut dapat menyebabkan penyakit berat seperti kanker atau gangguan sel tubuh.
Eits, tapi tunggu dulu! Kalau dicerna, sebenarnya penyebab adanya makanan dengan zat aditif itu satu : LEBIH MURAH harganya. Produsennya pun memang menetapkan target konsumen mereka pada masyarakat lapisan menengah kebawah yang tidak mampu membeli makanan dengan harga mahal berkualitas baik. Masyarakat pun tentu saja menyukai jika ada makanan enak pinggir jalan dengan harga yang pas di kantong mereka. Dari sini disimpulkan bahwa, masalahnya kembali pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Menyoal kerupuk tadi, pernahkah juga kita berpikir, siapa - siapa yang juga dirugikan atas isu kerupuk sterofoam ini? Selain produsen dan konsumen tentunya? DISTRIBUTOR!
Sebelum dijual di warung makan dan restoran, kadang kerupuk dijajakan oleh seorang penjual kerupuk bersepeda ontel dengan karung kerupuk besar di kanan-kiri boncengannya. Usianya memang tak lagi muda. Ditambah dengan beban hidup yang tentu lebih berat dari beban kerupuk yang dibawanya dengan mengayuh sepeda tiap hari. Di kota saya sekarang, Solo, pemandangan itu sering sekali saya lihat. Hanya terpikir jika saja isu kerupuk itu benar-benar mempengaruhi masyarakat, bagaimana penjual krupuk itu mengepulkan asap dapurnya? Sementara harga kerupuk itu tidak pernah mahal. Dan pasti tidak pernah berlebihan.

diunduh dari andy.web.id


Nah, sebagai konsumen yang hidup di abad 21, memang kita harus waspada. Memilih makanan apa yang harus kita makan. Namun selektif bukan berarti harus memusuhi semuanya. Dari 1000 tukang gorengan mungkin hanya setengahnya yang curang. Dari banyaknya krupuk ber-sterofoam mungkin masih ada produsen kerupuk yang jujur dalam pembuatannya. Lagipula, umur itu milik Allaah Ta'ala. Kalaupun kita keracunan atau sakit, saya rasa bukan karena krupuk. Namun bisa jadi, itulah bentuk rasa sayang Allaah kepada kita.
Terlebih, sekarang berpikirlah. Di usia yang sudah senja. Bapak pedagang kerupuk yang mengedarkan kerupuk itu masih setia mengayuh roda sepeda. Ia merasa lebih baik seperti itu daripada meminta-minta.

Bagaimana dengan saya?
Tidak peduli sterofoam atau formalin. Makan nasi, kerupuk, dan sambal kecap, menurut saya adalah surga kedua di dunia, setelah pangkuan ibu saya.
:D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama

aku bertemu banyak nama yang sama sepertimu tiada kata berulang yang mampu membuat analaogi baru seperti saat terdengar nama itu kamu tak ...